Perjuangan Seorang Anak Yatim-Piatu Untuk Meraih Sarjana S1
By: Suci Wahyu Rintiani
Dia memberikan kisah inspiratif yang membuat aku terharu bahkan termotivasi. Dia adalah Syafira Putri, anak dari bapak Beni dan ibu Sari. Dia anak kedua dari dua bersaudara. Nama kakaknya Aini. Syafira mulai bekerja sejak kelas lima SD, dari dia kelas lima SD ayahnya, pak Beni sudah sakit yaitu mengalami struk. Itu sebabnya dia sudah mulai bekerja, walaupun kelas lima SD, kalau dipikir-pikir belum meyakinkan untuk bekerja, tetapi dia sudah berjuang untuk bekerja membantu kakak dan ibunya untuk biaya keluarga dan biaya sekolahnya. Dia membantu ibunya menyadap karet dan nantinya akan dikumpulkan bongkahan karet itu untuk dijual. Dia terbiasa bekerja keras bagaimana tidak? Jarak kebun karet dari rumah satu jam, tapi ditempuh dengan berjalan kaki. Seperti itulah setiap hari rutinitas Syafira, kakak dan ibunya, sampai kak Aini menikah.
Setelah kak Aini menikah, Syafira tidak lagi pergi nyadap karet ke kebun yang jauh tadi, yang menempuh perjalanan satu jam, karena beban ibu hanya tiga orang lagi, ayah, ibu dan Syafira. Saat dia berada dibangku kelas satu SMA, pak Beni yang sudah bertahun-tahun mengalami sakit struk meninggal dunia. Dia bilang itu tidak terlalu berpengaruh sekali, karena sudah terbiasa juga dari kelas lima SD ibu yang bekerja mencari uang. Sampai masanya saat dia naik ke bangku kelas tiga SMA ibu Syafira meninggal dunia, tanpa disangka-sangka. Itulah titik awal Syafira merasa jatuh sekali, sempat terpikir untuk tamat SMA saja rasanya tidak akan mungkin. Tapi Allah tidak akan sia-sia, ada aja jalan yang diberi oleh Allah, dipermudahkan langkah sampai selesai SMA; menamatkan sekolah SMA.
Syafira sekarang tinggal dengan kakak dan abang ipar nya, dia sudah menjadi anak yatim piatu. Tidak terbayangkan jika posisi seperti ini akan aku duduki, ucap penulis seraya berkata didalam hati” Syafira perempuan yang kuat, kuat batin kuat mental karena diuji oleh Allah dengan hal yang tak disangka-sangka membuat dia jatuh”. Syafira ingin sekali bisa merasakan duduk dibangku kuliah, tetapi sekarang ini dia mikir, bagaimana bisa dia kuliah sedangkan kondisi keuangan tidak meyakinkan. Namun, Allah memberi jalan lagi, abang ipar mendukung penuh atas keinginan Syafira untuk bisa kuliah. Sebelum menduduki bangku kuliah, banyak yang menceme’ehkan dia, orang-orang yang menceme’ehkan dia selalu berkata kalau Syafira tidak akan bisa selesai kuliah, karena kendala biaya. Aku mendengar cerita Syafira saja rasanya pengen marah sama orang-orang yang menceme’ehkan Syafira, bagaimana tidak? Kita tidak tahu jalan hidup dan rezeki seseorang, memangnya mereka yang menceme’ehkan TUHAN? Seenaknya saja bilang kalau Syafira tidak akan bisa menyelesaikan kuliah. Tapi itu tidak akan mematahkan semangat Syafira untuk bisa kuliah. Alhamdulilah dari semester satu sampai tiga biaya perkuliahan lancar, karena pekerjaan abang pada saat itu mencari ikan, dan mungkin karena rezeki sekolah juga, ikan banyak dapat dan laku terjual semuanya. Hingga akhirnya pada saat menduduki bangku semester empat sampai selesai itu memang masanya berat. Karena Cuma mengharapkan bagian batang dari kebun karet, dan itupun satu kali dalam dua minggu. Kalian pasti tahu,bagaimana banyaknya keperluan kuliah ini, terbayang tidak? Jika kita tidak memiliki uang, padahal kita dituntut memang harus ada uang! Pasti tidak terbayangkan. Itulah yang Syafira hadapi, dia sanggup menjalani itu semua, kadang dia pulang kuliah hari kamis atau jum’at hanya untuk menyadap karet untuk mendapatkan uang kertas untuk biaya kuliah. Minggu mengumpulkan getah karet dan dijual menghasilkan uang Rp 100.000,00 seperti itulah terus. Kadang dapat uang kadang tidak. Terkadang juga kalau tidak ada uang Syafira meminjam uang kepada yang toke karet tersebut.
Biaya dari abang ipar, kalau ada uang dikasihnya, kalau tidak ada ya mau gimana lagi. Tidak mungkin juga dipaksa, lagian abang ipar Syafira pun punya keluarga kecil yang dihidupi dan diberi nafkah. Tetapi, ada saja rezeki yang diberikan oleh Allah kepadanya melalui tangan orang lain, ada yang bernazar pada Syafira. Pernah ada pengalaman waktu masih duduk dibangku kuliah semester empat, sebelum ujian dia mengumpulkan karet dulu, karena jadwal ujian siang, makanya nekat untuk mengumpulkan karet, supaya dapat uang, namun pas sudah sampai dikampus tangan bau karet saja lagi. Kalau untuk masalah kos, Syafira hanya bayar 2 semester saja, semester tiga sampai wisuda dia tidak pernah membayar kos lagi, karena teman Syafira yang bernama Widia baik pula, bukan hanya Widia saja, semua keluarga Widia berbaik hati kepada dia. Syafira bersyukur. Bagaimana tidak kan? Biaya kos sudah tidak dibayar lagi, sedangkan fasilitas didalam kos lengkap. Terkadang Syafira merasa segan, karena dia tidak membayar dan tidak pula ada membawa apa-apa, walaupunlah pemilik kos sahabat dia, tetapi pasti ada rasa segan.
Syafira selalu tidur diruangan televisi, karena merasa segan, tetapi itu tidak membuatnya berkecil hati, malahan tidur didepan televisi membuatnya merasa senang, tempatnya lapang, lagipun rasanya seperti suasana tinggal dirumah kampung. Pergi pulang kuliah selalu barengan sama Widia. Dari awal kuliah sampia wisuda. Memang banyak jasa keluarga Widia terhadap Syafira, lebih dari sanak-saudara lagi, ketika Syafira tidak ada uang Widia pasti meminjamkan uangnya bahkan Widia lebih sering memberi ketimbang meminjamkan.
Aku juga sering melihat kejadian itu, karena satu semester aku pernah satu kos sama kak Syafira, sahabat kak Syafira, kak Widia tidak pernah sekalipun berhitung masalah materi kepada kak Syafira.
Kalau diingat-ingat memang sangat bersyukur rasanya, jalan Syafira dimudahkan oleh Allah, memiliki sahabat yang baik dan juga dikelilingi dengan orang-orang terdekat yang baik-baik. Semasa magang atau istilahnya PPL Syafira dipertemukan lagi dengan seorang kakak yang kos bareng di rumah Widia, kak Reni namanya. Kak Reni sudah menamatkan kuliah di salah satu Universitas di Riau. Sekarang bekerja di Bangkinang. Selama kak Reni kos di rumah Widia, Syafira tidak pernah pula merasakan kesulitan untuk pergi ke sekolah tempat dia PPL. Kak Reni dengan ikhlas meminjamkan sepeda motornya kepada Syafira. Namun pada saat semester akhir, itulah detik kesusahan yang Syafira alami. Yaitu masalah biaya, kalau masalah skripsi, ujian, dosen pembimbing/penguji alhamdulilah tidak ada kendala, semuanya baik-baik dan lancar-lancar saja. Namun yang berat masalah biaya, hampir setiap malam sebelum wisuda Syafira menangis karena kesulitan biaya. Karena uang simpanan atau uang tabungan untuk wisuda itu tidak ada. Abang ipar dan kakak Syafira juga lagi pusing memikirkan masalah kredit bank yang sedang macet. Syafira pun pusing memikirkan hal ini, bagaimana tidak pusing? Kalau tidak terbayar hutang di bank rumah yang menjadi jaminannya akan diambil oleh pihak bank. Sedangkan rumah ini adalah satu-satunya warisan dari Alm. dan Almr orang tua Syafira. Ditambah lagi beban wisuda yang semakin dekat, tetapi uang belum juga didapatkan.
Syafira selalu berusaha mencari titik jalan keluar dari kesulitan ini, tidak lupa akan halnya mendatangi sanak-saudaranya, namun tidak ada memberi respon dan memberi bantuan. Mencari ke tempat orang lainpun tidak ada juga, mungkin karena orang tidak percaya. Kalau Syafira sedang membutuhkan uang untuk biaya wisuda. Biaya wisuda membutuhkan uang banyak, karena Universitas tempat Syafira kuliah adalah swasta, karena dari itulah Syafira pusing memikirkan uang darimana didapatkan sebanyak itu. Wisuda yang akan diselenggarakan sebentar lagi di salah satu Hotel Pekanbaru.
Tiap malam selalu Syafira lakukan sholat malam, karena sebaik-baiknya tempat mengadu, hanyalah kepada-Nya, sang pemilik alam semesta. Syafira selalu sholat malam, insyaAllah khusuk, tidak pernah bosan-bosannya Syafira lakukan rutinitas itu, alhamdulillah Allah memang memberikan jalan kepada seseorang yang Allah kehendaki. Masa sulit pun bisa dilewati. Syafira bisa menyelenggarakan wisuda sarjananya, dari kelas lima SD sudah bekerja, namun sekolah juga tetap dijalankan, walaupun banyak cobaan dan ujian yang silih berganti, tidak mematahkan semangat Syafira, sampai menyelesaikan Sarjana.
Banyak hal yang bisa dipetik dari kisah ini, hikmah, bahwa niat, kerja keras dan usaha selalu berdampingan. Usaha tidak akan menghianati hasil. Betul bukan? Jangan pernah patah semangat, sekalipun hal yang paling berharga dalam hidup kita, diambil kembali perlahan-lahan oleh Allah, karena sesuatu hal yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin oleh-Nya. Bersyukur kunci dari kenikmatan yang kita peroleh, kita bersyukur akan ditambah oleh Allah nikmatnya.
-TAMAT-
Post A Comment:
0 comments: